Siapapun kita, ustadz atau santri, ulama atau ummat biasa, imam atau ma’mum, cendekiawan atau orang awam. Pasti saja melewati fenomena degradasi kesholehan. Banyak sebab itu terjadi.
Pertama, lemahnya iman. Apabila seorang muslim lemah imannya, maka ia tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman tersebut. Ia senantisa terombang-ambing dalam panggung kehidupannya, dan tidak memiliki jati diri lagi sebagai muslim yang sebenarnya. Sebaliknya, manusia muslim yang memiliki kekuatan iman yang sebenarnyabukan hanya sebatas keyakinan saja, ia akan merasa tentram, damai, percaya diri, dan bahkan mampu melukiskan karya-karya besar dalam kanvas kehidupannya. Inilah hamba-hamba yang dijanjikan Allah sebagai pewaris bumi-Nya, sebagaimana dinyatakan ayat-ayat berikut ini.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur: 55)
“Orang yang selalu merasakan kenikmatan iman adalah orang yang rela menjadikan Allah sebagai Robb, Islam sebagai agama, dan Muhamad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)
“Ada tiga perkara, yang jika seseorang memilikinya, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, menncintai orang lain karena Allah, dan benci kepada kekufuran, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maka, kelemahan dan penurunan iman secara otomatis mempengaruhi kuantitas dan kualitas kesholehan dan kebaikan kita. Semakin kuat iman dalam jiwa kita, semakin kuat pula amal yang akan kita lakukan. Sebaliknya, semakin lemah iman kita, semakin lemah pula kuantitas dan kualitas amalnya.
Kedua, tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Kekuatan dan kemenangan umat yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja, melainkan harus diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupan. Namun, kekuatan dan kemenangan itu baru akan tegak kokoh jika berdiri di atas tiga pilar, yang satu sama lainnya tidak boleh terpisahkan, yaitu iman, ilmu, dan amal (ibadah). Saat ini, ketika umat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang, dan akhirnya berganti dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya.
“…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar: 9)
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah, sesungguhnya jati diri seorang pemuda ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”
Adapun Ibnu Taimiah berkata, “Pencabutan amanah dan iman bukanlah berarti pencabutan ilmu. Karena, manusia terkadang diberikan keimanan, namun tidak diberikan keilmuan. Keimanan seperti ini mudah hilang dari jiwanya, sebagaimana hilangnya iman Bani Israil tatkala mereka melihat anak sapi (yang akhirnya disembah). Adapun jika seseorang diberikan ilmu serta iman, maka ilmu dan imannya tidak akan hilang dari jiwanya, dan ia tidak akan keluar dari Islam. Berbeda jika ia hanya diberi Al-Qur`an atau iman saja. Sebab, iman semacam ini terkadang hilang, sebagaimana realitas yang ada dalam kehidupan. Hal ini terlihat pada kebanyakan riddah (kemurtadan) yang kita temukan, yaitu terjadi pada orang yang hanya memiliki Qur`an tanpa memiliki ilmu dan iman, atau memiliki iman tanpa memiliki ilmu dan Qur`an. Karena itu lah, orang yang memiliki Al-Quran, iman, dan ilmu pengetahuan, niscaya tidak akan kehilangan iman dari jiwanya. Wallahu a’lam.” (al-Fataawa, 18/305)
Ketiga, meremehkan dosa dan kemaksiatan. Ketika seseorang menganggap remeh dosa dan kemaksiatan, maka kesolehan dan kebaikannya akan mengalami degradasi. Bahkan, dengan meremehkan dosa dan kemaksiatan, ia akan mudah terjebak dalam kubangan kemaksitan. Karena, tabiat dosa atau kemaksiatan adalah senantiasa mengajak dan menggiring manusia untuk melakukan dosa lagi. Mengenai masalah ini, Rasulullah saw. bersabda,
“Takutlah kalian akan meremehkan dosa-dosa, karena sesungguhnya dosa-dosa tersebut akan berkumpul, dan akhirnya mencelakakannya. Perumpamaan dosa-dosa ini seperti kaum yang menuruni lembah dan setiap orang membawa sebatang kayu bakar. Mereka mengumpulkannya dan menjadikannya tumpukan, kemudian dinyalakan api dan semua yang dilemparkan ke dalamnya menjadi matang.” (HR Ahmad dan at-Thabrani)
Selain menambah dosa dan kemaksiatan, meremehkannya dapat mengakibatkan seseorang jauh dari jalan taubat, melemahkan hati untuk berjalan menuju Allah, dan bahkan di Hari Akhirat nanti dapat menjadi penghalang menuju ke haribaan-Nya. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan melahirkan kecerahan di wajah, cahaya di hati, kelapangan rizki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia lain. Adapun kemaksiatan menimbulkan kepucatan di wajah, kegelapan di hati, kelemahan badan, serta kesempitan dan kebencian di hati manusia.”
Keempat, ujub dan ghurur (keterperdayaan). Ujub dan ghurur merupakan dosa awal yang dimiliki Iblis, yaitu saat ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Sebab, ia merasa mempunyai kelebihan dibandingkan Adam. Ia merasa lebih baik, lebih kuat, dan lebih sempurna. Begitu lah halnya manusia yang memilki sifat ujub dan ghurur, ia merasa lebih segala-galanya dari pada orang lain. Ia akan lebih sibuk dengan urusan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri, dan ia merasa tidak butuh lagi untuk melakukan ekspansi kebaikan. Perasaan ujub dan ghurur yang mendominasi jiwa seorang muslim akan mematikan langkah-langkah kebaikannya, dan akan mengubur rasa jiddiyah (kerja keras) dalam usaha untuk menambah kesolehan pribadi.
“Apabila kamu melihat kekiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan takjub jika semua orang mengikuti pendapatnya, maka selamatkanlah dirimu.” (HR at-Tirmidzi)
Bersamaan dengan ujub, akan muncul ridha kepada hawa nafsu. Ridha kepada hawa nafsu akan mengakibatkan banyak kekurangan dan penyakit, seperti ghurur, meremehkan orang lain, dan tidak pernah mengintropeksi diri. Oleh karenanya, Allah mencela sifat ini melalui berbagai ayat-ayat-Nya.
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu’minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (at-Taubah: 25)
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka mebmusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu’min. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (al-Hasyr: 2). Wallahu ‘alam bishawwab
Pembaca terbaru